Tarikan nafas ku mulai terasa berat. Setiap terbesit aku ingin ini dan ingin itu, serentak mata menatap ke langit, seolah-olah meragukan apa kata hati.
Itulah ungkapan yang malam ini rasakan. Bertengkar dengan pikiran soal bagaimana esok, betul-betul tidak ada akhirnya. Memang betul yang dikatakan oleh orang-orang, bahwa di usia 20 tahunan kita diporak-porandakan dengan waktu, usia orang tua, cita-cita, dan panaskan oleh pencapaian orang lain. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, hal tersebut cukup membuat kegundahan ketika sendiri. Tidak dipanggil dan tidak ditunggu kehadirannya, overthinking itu muncul menyelimuti isi kepala.
Ada beberapa alasan yang membuat saya kerap merisaukan hari esok. Pertama karena saya melihat perjuangan dan pengorbanan orang tua untuk bisa membiayai kuliah anaknya. Betul sekali, saya memiliki rasa ingin membalas budi, walaupun kalau diukur dan dibandingkan tidak akan menyamai dengan apa yang telah orang tua berikan. Tapi setidaknya, motivasi ini menjadi spirit untuk terus maju menggapai yang diharapkan meraka orang tua. Balas budi ini dimaksudkan ketika orang tua sudah memasuki usia senja, maka tidaklah perlu bekerja keras di ladang, biarlah anak mu ini yang bertugas mencari nafkah. Sementara orang tua, duduk di rumah dan menikmati masa hidupnya tanpa perlu pusing memikirkan sandang, pangan, dan papan.
Yang kedua adalah pandangan bahwa masa depan yang ideal tidak bisa diciptakan secara instan. Semua yang dicita-citakan tidak begitu saja terjadi. Ada namanya proses, usaha, gagal, dan pengalaman. Saya berusaha untuk mempersiapkan itu semua untuk bertarung mempertaruhkan keberuntungan. Sehingga kegelisahan saya yang dirasakan malam ini merupakan upaya untuk memikirkan apa yang akan dilakukan kedepan. Mungkin ini terdengar cukup berat, tapi jika masuk lebih dalam lagi, saya hanya memaksimalkan potensi yang ada.
Malam adalah waktu yang nyaman untuk berbicara kepada diri kita sendiri. Malam merupakan waktu yang romantis untuk mengawini ide dan gagasan. Begitulah yang saya alami, banyak ide keluar dari kepala dan bergelantungan di langit-langit kamar. Tidak hanya ide, kadang juga harapan, tangisan, kebahagiaan, dan macam lainya. Mungkinkah malam diciptakan untuk membangun pikiran?
Saat semua ide itu muncul, ingin rasanya saya bangun pagi untuk mulai membangun ide itu menjadi nyata. Saking banyaknya ide, kadangkala saya sibuk menangkapnya sampai lupa harus berbuat apa. Benar apa kata orang, jika ada sepuluh kelinci, lihatlah satu ekor saja, dan tangkaplah. Sehingga fokus kita terarah dan tidak berkelok-kelok. Namun disisi lain, saya juga menganggapnya sebagai catatan kaki, sebagai rujukan ketika kehilangan arah.
Komentar
Posting Komentar