Hari senin (18/09/2023) menjadi hari pertama saya melaksanakan kegiatan Praktik Pendalaman Lapangan atau PPL di Pengadilan Agama Ponorogo. Saya bersama sembilan orang teman, berangkat dari tulungagung hari minggu pukul 08.00 WIB. Saya dan rombongan memang sengaja berangkat hari minggu untuk berbenah di rumah yang sudah kami kontrak sebelumnya. Dan kami pun tiba di Ponorogo jam 12.32 WIB.
Singkatnya setelah cukup merapihkan barang bawaan dan membersihkan rumah. Sore itu saya menunaikan ibadah sholat magrib di Masjid Baitul Muttaqin. Alhamdulillah memang kosan ini jaraknya dekat dengan masjid, sekitar 10 meter. Saya berangkat tidak sendiri ada bapak Kaswan, beliau adalah pemilik kosan yang waktu itu berangkat ke masjid bersama saya. Kami pun sedikit berbincang basa basi mulai dari perkenalan, dari mana asalnya, dan beberapa hal yang saya tanyakan agar sedikit lebih dekat.
Waktu sholat magrib wilayah Ponorogo lebih cepat dari pada di wilayah tulungagung. Ada selisih lebih kurang tujuh menit. Selepas saya selesai melaksanakan sholat maghrib, saya pun kembali ke kosan, rupanya banyak juga dari teman-teman PPL yang berjamaah di masjid tengah pulang ke kosan. Padahal awalnya mengira hanya saya dan Pak Kaswan yang pergi ke masjid. Sehingga kami pun berjalan ramai-ramai.
Dari interaksi singkat tersebut, saya membuat satu asumsi yang mana perlu saya catat sebagai rangkuman perjalan PPL. Ada tiga hal yang saya catat setelah selesai menunaikan ibadah sholat magrib. Pertama letak masjid yang bergabung dengan sekolah madrasah. Kedua corak masyarakat kelurahan Singosaren yang cukup agamis. Dan ketiga, islam sebagai sarana membangun kedekatan dengan lingkungan baru.
Pertama, Masjid berada di lingkungan madrasah. Masjid Baitul Muttaqin memang masuk di lingkungan Madrasah Mambaul Ulum. Keberadaannya ini begitu strategis sebagai media dakwah kepada anak anak kecil sampai muda bahkan dewasa. Berbicara fungsi masjid sebagai tempat beribadah, pada zaman Rasulullah masjid juga dipergunakan sebagai madrasah bagi umat muslim untuk menerima pengajaran islam. Bukan hanya itu, keberadaan masjid pada era Rasulullah dapat dikatakan sebagai institusi yang membangun peradaban umat islam yang modern.
Kedua, masyarakat yang cukup agamis.
Masyarakat yang agamis bisa diartikan merupakan masyarakat yang memiliki keimanan, taat ibadah, dan menjunjung nilai-nilai spiritual dalam aktivitas sehari-hari. Berdirinya masjid Baitul Muttaqin ditengah-tengah masyarakat Kelurahan Singosaren betul-betul diperhatikan sebagai nilai spiritual. Saat sholat magrib digelar banyak kalangan anak kecil, muda-mudi, bahkan orang dewasa memenuhi masjid sampai shaf ketiga. Bahkan dari jamaah perempuan pun tidak mau ketinggalan, mereka berbondong-bondong saat adzan dikumandangkan. Tidak ketinggalan juga saya dan rombongan mahasiswa PPL ada dibarisan tersebut.
Ketiga, agama sebagai pondasi konstruksi sosial. Agama islam memang diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin. Sebuah rahmat / cinta bagi semua makhluk hidup. Dari kacamata sosiologi agama islam telah memperkokoh tali persaudaraan antara saudara seiman. Dalam hal ini saya selaku anak rantau merasakan betul hal tersebut. Tempat yang mudah untuk lebih dekat dan berbaur dengan masyarakat adalah ketika berada di masjid. Saya melihat gejala sosial yang timbul selepas menunaikan ibadah shalat magrib. Pendekatan emosional maupun persona bermula dari sini.
Sederhananya saya datang dan ngekos di Ponorogo tidak memiliki saudara atau keluarga. Berbekal pengalaman KKN dulu, cara paling gampang untuk bersosialisasi dengan masyarakat setempat adalah dengan sholat berjamaah. Dan ini memang sangat ampuh. Karena disana saya berjumpa dan menemukan masyarakat atau sesepuh/tokoh agama setempat. Sehingga bermula dari sinilah saya mulai berinteraksi dengan masyarakat walaupun hanya beberapa waktu. Kesempatan itu saya manfaatkan betul untuk bersilaturahmi dan memperkenalkan diri agar masyarakat tahu bahwa ditempat tinggal mereka tengah ada orang/kelompok baru.
Komentar
Posting Komentar