Ada banyak hal sebetulnya yang bisa kita potret dari tokoh satu ini. Mulai dari pendidikan, prestasi, karir politik, bahkan cinta, motivasi, inspirasi nilai hidup dan lain sebagainya. Satu hal yang berusaha ditegaskan melalui tulisan ini adalah cinta seorang Habibie terhadap ilmu, Ainun, dan bangsa Indonesia. Sebagaimana pernyataan dari Letjen (Purn) Achmad Tirtosudiro bahwa walaupun lebih dua puluh tahun lamanya Habibie berada di lingkungan asing, yang sejarah dan kebudayaannya jauh berbeda, perasaan nasionalisme nya tidak pernah luntur dan menyala-nyala.
Tulisan ini menyajikan informasi informasi yang bersifat paradigmatik dari buku berjudul "Inspirasi dan Motivasi B.J. Habibie" karya Punto Ali Fahmi. Dalam buku ini dikisahkan bagaimana perjalan hidup Habibie mulai dari masa kecil, pendidikan, pekerjaan, karir, prestasi dalam dunia penerbangan, menjabat sebagai presiden sampai dirinya dikebumikan. Beliau melalui karyannya, berusaha menyampaikan nilai semangat dan perjuangan seorang Habibie. Tidak sampai disitu, buku ini juga mengajak para pembaca untuk berpikir progresif menggapai masa depan. Buku ini berupaya untuk selalu menghidupkan sosok Habibie bagi bangsa dan generasi muda.
Cinta Seorang Habibie
Lahir dari sebuah keluarga yang selalu mengedepankan pendidikan. Habibie sejak kecil telah memperlihatkan sifatnya yang tegas. Sifat ini ia dapatkan dari ayahnya yang selalu menekankan kedisiplinan. Ayah Habibie merupakan seorang ahli pertanian di Parepare. Alwi Abdul Jalil Habibie memangku jabatan Landbouw Consulent, yang dikenal membawahi dinas dinas pertanian, onder afdeling barru, enrekang, sidenreng, rappang, dan Pinrang. Sedangkan ibunya R.A Tuti Marini adalah seorang terpelajar yang menyandang gelar dokter di usianya yang baru menginjak 19 tahun.
Perjalanan akademik Habibie bermula dari kota kelahirannya di Parepare, Sulawesi Selatan. Habibie sejak kecil dikenal sebagai "Kutu Buku" dan banyak menghabiskan waktunya untuk melahap buku bacaan. Kebiasaannya ini berhasil membawa Habibie sebagai siswa cerdas sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. Tidak hanya itu, Habibie juga adalah seorang yang berani dan percaya diri meski tidak bergaul dan bermain layaknya teman-temannya. Pernah suatu ketika Habibie duduk di bangku taman kanak-kanak, guru bertanya kepada seluruh siswa mengenai cita-citanya masing-masing. Saat mendapat giliran, Habibie dengan tegas dan pasti bahwa ia ingin menjadi insinyur.
Singkat cerita, untuk melanjutkan pendidikan ke Jenjang berikutnya. Habibie pindah ke Bandung bersama Pak Soejoed (teman dekat almarhum ayahnya), disana ia masuk ke Governments Middlebare School yang sekarang dikenal sebagai SMP 5. Meski sudah kehilangan sosok ayah, Habibie tidak patah semangat, justru ia tumbuh sebagai siswa pantang menyerah dan berjiwa optimis. Semasa SMA, ia menunjukkan kejeniusannya, lebih-lebih dalam mata pelajaran eksakta. Habibie pun menjadi salah satu siswa favorit di sekolahnya.
Habibie juga dikenal dengan pribadi yang baik dalam menyiapkan diri. Apabila guru mengadakan ujian dadakan, ia tidak pernah kaget dan menyelesaikan soal dengan sempurna. Karena Habibie selalu mendesain otaknya untuk menyimpan materi pelajaran sedikit demi sedikit secara terus menerus.
Berkat usaha dan kepintarannya, Habibie diterima untuk melanjutkan studinya ke Intitut Teknologi Bandung (ITB) di tahun 1954. Di sana ia bergabung dengan Aeromodelling Club. Dan berhasil membuat model pesawat terbang dari hasil karya tangannya sendiri. Namun model pesawat tersebut tidak sempat disempurnakan, karena Habibie harus melanjutkan studinya ke Jerman. Di Aechen ia mengambil jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Keputusan ini merupakan hasil pertimbangan Prof. Mr. Mohammad Yamin. Beliau mengatakan kepada Habibie bahwa ia adalah harapan bangsa. Kemudian Moh. Yamin menyarankan pada Habibie agar mempelajari pesawat terbang.
Saat melanjutkan studi di Jerman, Habibie tidak menggunakan beasiswa yang disediakan pemerintah untuk anak anak cerdas yang bersekolah di luar negeri. Habibie betul-betul ful dibiayai oleh kantong ibunya. Walaupun tanpa beasiswa Habibie adalah anak yang beruntung karena memiliki orangtua yang senantiasa mendukungnya sepenuh jiwa dan raga. Saat mahasiswa lain menikmati liburan, Habibie justru sibuk dengan ujian dan pekerjaan sampingannya demi menghasilkan beberapa lembar uang untuk biaya hidup disana. Habibie juga berkomitmen untuk sesegera mungkin menyelesaikan kuliahnya agar bisa kembali ke Indonesia dan meringankan beban Ibunya.
Pada masa SMA Habibie bertemu dengan Hasri Ainun. Ainun adalah teman bermain kelereng kakak Habibie kala masih tinggal di Bandung. Memasuki masa SMA, Habibie dan Ainun berada di sekolah yang sama. Meski berada dilingkungan yang sama, Ainun tidak menaruh perhatian khusus pada Habibie. Saat keduanya lulus, Habibie dan Ainun menempuh jalan yang berbeda. Habibie mampir ke ITB sebelum terbang ke Jerman, sementara Ainun melanjutkan kuliah kedokteran di Jakarta. Ketika terpisah oleh jarak dan waktu, Habibie tidak pernah mengunjungi Ainun. Kemudian setelah lulus dan mendapat gelar Insinyur pada tahun 1962, Habibie barus bisa pulang ke tanah air. Terhitung sudah 7 Tahun lamanya sejak ia terakhir bertemu dengan Ainun.
Habibie bertemu kembali dengan Ainun saat diajak oleh Fanny untuk berkunjung ke rumah keluarga Muhammad Besari di Bandung. Fanny memang dikenal dekat dengan keluarga ini, sehingga saat berkunjung, ia tidak sungkan untuk pergi ke dapur mengambil makanan yang dibuat ibu Ainun. Habibie yang ditinggal sendiri pun kebingungan, dan menyusul Fanny ke dapur. Pada momen inilah Habibie bertemu kembali dengan Ainun. Mereka saling bertegur sapa dan juga terdengar pujian yang dilontarkan Habibie kepada Ainun yang sekarang semakin cantik dengan kulit langsatnya. Dan dari sinilah timbul benih benih cinta Habibie dengan Ainun.
Di suatu hari, Habibie memberanikan diri untuk mengajak Ainun jalan jalan. Sebelum pulang ia sempat bertanya kepada Ainun, apakah Ainun memiliki teman dekat atau semacamnya. Kalimat tersebut sontak membuat langkah kaki Ainun terhenti. Sambil menatap mata Habibie Ainun dengan jelas menjawab bahwa ia tidak memiliki teman dekat atau teman khusus. Saat-saat pacara Habibie dan Ainun bermula saat Ainun di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Seakan tidak ingin berpisah Habibie pun ikut dan menginap di rumah kakaknya yang tertua. Tidak butuh waktu lama bagi Habibie untuk melamar Ainun. Pihak keluarga Habibie pun datang ke rumah Ainun untuk melamarnya. Dan mereka menikah pada 12 Mei 1962.
Kisah cinta Habibie dengan Ainun dari mulai pacaran sampai ke jenjang pernikahan terbilang cukup singkat. Kemantapan hati Habibie terhadap wanita yang sudah lama dikenalnya itu. Menggerakan hati dan tubuhnya untuk meminang Ainun. Bagi Habibie tanpa cinta kecerdasan itu berbahaya, dan tanpa kecerdasan cinta itu tidak cukup.
Setelah menikah Habibie langsung memboyong Ainun ke Jerman. Karena ia masih memiliki tanggungan pekerjaan dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Habibie memang semangat yang berkobar mengenai urusan pendidikan. Didikan kedua orang tuanya betul betul berhasil membentuk karakter seseorang Habibie yang pantang menyerah dan berjiwa besar.
Sebagai pengantin baru, dan usia pernikahan yang masih muda. Tentu banyak cobaan dan rintangan yang dihadapi oleh Habibie dan Ainun setelah pindah ke Jerman. Namun meski mengalami banyak permasalahan, Ainun mengeluh atau protes kepada Habibie. Susah ataupun senang keduanya adalah hadiah yang didapatkan setelah mengucapkan ikrar suci bersama Habibie. Keduanya saling menyemangati setiap masalah yang dihadapi terasa semakin berat.
Bagi Habibie studinya di Jerman tidak hanya sebatas untuk kepentingan pribadi, tapi juga amanat kedua orang tua dan bangsanya. Semua ilmu dan pengalaman yang ia dapat akan digunakan untuk memajukan Indonesia. Habibie betul-betul mewakafkan dirinya untuk negeri tercinta. Setelah Habibie memperoleh gelar doktor nya, ia kemudian mengirim surat ke Indonesia untuk memberi kabar, bahwa ia siap apabila dibutuhkan di tanah air. Ada banyak pekerjaan yang ditolak Habibie, ia memilah dan memilih pekerjaan mana yang ilmunya dapat diaplikasikan di Indonesia. Salah satunya tawaran membuat pesawat terbang untuk keperluan spionase oleh perusahaan Bolkow di Hamburg.
Titik awal Habibie meniti karir adalah ketika Habibie melamar pekerjaan di Hamburger Flugzeugbau (HFB), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penerbangan. Ia begitu senang karena bisa bersentuhan langsung dengan mahakarya yang belum dimiliki Indonesia. Disana Habibie harus memecahkan masalah terkait kestabilan konstruksi untuk bagian belakang pesawat terbang F28. Dalam kurun waktu 6 bulan masalah tersebut dapat diselesaikan. Kepercayaan perusahaan kepada Habibie terpupuk dengan baik. Bahkan Habibie di percaya untuk membuat kapal terbang baru.
Habibie menjadi seseorang yang berjasa bagi perusahaannya. Dan memberikan kontribusi besar bagi terhadap persoalan pesawat terbang dan menjadi kebanggaan dunia. Bersamaan dengan penemuan hebat Habibie. HFB mengubah nama perusahaan menjadi Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB). Berkat dedikasinya yang tinggi, Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden dan Direktur Teknologi MBB. Posisi ini sekaligus menjadi sejarah kepemimpinan orang asing diperusahaan tersebut.
Pada suatu ketika Habibie ditawari pekerjaan oleh Presiden Filipina bernama Marcos, untuk membangun industri pesawat terbang untuk seluruh Asia Tenggara di Filipina. Namun sekali lagi Habibie menolak tawaran tersebut karena ia memiliki janji untuk pulang ke Indonesia. Meski menolak beragam tawaran, tapi Habibie masih mempertahankan posisinya di MBB, karena disana ia dapat melakukan riset dan melakukan pengembangan konstruksi pesawat yang akan berguna bagi penerbangan di Indonesia. Habibie melakukan semua itu demi mimpi besarnya, agar Indonesia mampu mengembangkan teknologinya penerbangan sendiri.
Habibie memiliki untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Untuk mewujudkan mimpi besar tersebut. Habibie membentuk sebuah tim yang terdiri dari 20 orang untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan dan praktik langsung industri pesawat terbang di Jerman. Dengan beberapa tambahan beberapa orang yang dipercaya Habibie, terdapat 30 orang Indonesia yang akhirnya dapat bekerja di MBB. Dalam kesempatan itu Habibie dan timnya dari Indonesia menggali ilmu industri penerbangan melalui pekerjaan di MBB. Waktu sangat berharga tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk belajar dan belajar, menemukan pengetahuan baru yang mana negara Indonesia belum memiliki itu.
Kepulangan Habibie dari Jerman ditandai dengan pertemuannya dengan Ibnu Sutowo. Habibie mendapat telepon dari Duta Besar Indonesia dari Jerman Barat. Bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengan dirinya. Pada pertemuan nya dengan Ibnu Sutowo. Habibie mendengar penjelasan darinya mengenai pembangunan yang sedang dilakukan di Indonesia terutama tentang pertamina. Namun kedatangan Ibnu Sutowo tidak hanya soal pertamina. Sesuai dengan instruksi Presiden Soeharto, ia menyampaikan panggilan Habibie untuk pulang ke Indonesia. Dengan adanya kabar ini Habibie berdiskusi dengan timnya, dan dari keputusan itu semua anggota tim memutuskan untuk pulang. Kepada anggota tim yang pulang ke Indonesia, Habibie meminta mereka untuk mengumpulkan data dulu. Meski semuanya sudah memperoleh bekal yang cukup, tapi mereka merasa untuk pertama sangat penting untuk tahu kondisi dan situasi sebelum memulai.
Cikal bakal terbentuknya Industri Penerbangan Nusantara (IPTN) berawal ketika Habibie baru pulang ke Indonesia. Saat itu pada tanggal 28 Januari 1974 Habibie menemui Soeharto di kediamannya di Cendana. Dalam pertemuan itu Soeharto menyampaikan keinginan agar Indonesia memiliki pengembangan teknologi sendiri. Namun kendala terbesar yang dihadapi masa itu tidak adanya anggaran untuk mewujudkan impian sebesar membangun industri pesawat terbang. Kemudian Habibie ditempatkan sebagai penasihat presiden untuk divisi Advanced Technology. Habibie juga membuat rencana sistem manajemen dan lokasi industri. Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Habibie memutuskan lokasi yang cocok adalah di Bandung. Dan pada tanggal 26 April 1978 berdirilah IPTN.
Keberhasilan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia tidak bisa lepas dari pengalaman Habibie menimba ilmu di Jerman. Oleh karenanya, Habibie berharap kesuksesan meraih cita-cita seperti dirinya dirasakan pula oleh orang lain.
Komentar
Posting Komentar