Lebih kurang satu minggu lalu, saya kembali bersilaturahmi di kediaman seorang ustad sepuh di kampung saya, Wanakaya. Kedatangan saya malam itu bukan tanpa alasan. Selain bentuk ta'dim seorang santri kepada guru, juga merupakan kebiasaan yang selalu saya budayakan. Kebiasaan saya ketika akan berangkat atau pulang dari perantauan adalah bersilaturahmi dengan keluarga dan guru ngaji. Adalah sebuah keharusan bagi umat muslim untuk selalu menjaga tali persaudaraan antar sesama. Hal ini yang betul-betul saya jaga. Selain bersilaturahmi, saya pun juga meminta doa dan wejangan kepada beliau. Mengingat besok setelah malam itu menjadi hari keberangkatan saya ke Tulungagung.
Ustad Ali Masyudin merupakan salah satu tokoh agama di desa Wanakaya yang di sepuhkan. Kapasitas ilmu agamanya yang luas, membuat beliau tidak hanya dihormati oleh kalangan santri, tapi juga dihormati oleh para ustad muda di desanya. Bukan bermaksud sombong, bisa menjadi santri beliau merupakan kebahagiaan tersendiri bagi santrinya. Mengingat tidak semua orang di desa Wanakaya bisa menjadi santrinya. Bukan karena ada pengkhususan dari beliau, tapi memang masih sedikit orang yang mau belajar mengaji dengan serius.
Pada malam selasa, 6 Februari 2023 saya bertemu dengan beliau di kediamannya. Kehadiran saya di rumah beliau bukan hanya waktu-waktu tertentu. Pada setiap bulan sekali, saya selalu menyempatkan untuk bisa bertemu dengan beliau. Alasannya masih sama yakni menjaga silahturahmi. Keinginan saya hanya satu, jangan sampai hubungan guru dan murid renggang akibat sudah jarang bertemu.
Dalam perbincangan malam itu, saya menyampaikan sebuah pertanyaan.
"Nganpunten pak, saya hari ini melihat bagaimana perjuangan para santri berjuang mencari ilmu di pondok pesantren. Tekun, sabar, dan penuh semangat sehingga ketika mereka lulus ilmunya barokah dan bisa bermanfaat. Tapi pernah juga saya melihat ada anak yang dia ini di sekolahkan oleh orang tuanya di pondok pesantren. Namun begitu lulus, dia malah keasyikan main dengan teman dan dunianya. Di suruh mengisi mushola yang kosong tidak mau. Sehingga terkesan ilmunya selama mondok kurang bermanfaat. Lalu sebetulnya apa sih yang menjadi tolak ukur kebermanfaatan suatu ilmu? "
Beliau langsung menjawab, "Perlu dicatat bahwa kunci keberkahan dari pada ilmu yakni Sami’na Wa Atho’na,dengarkan dan lakukan apa yang guru mu ucapkan (taat). Dengan kamu melakukan itu, maka guru akan ridho kepada santrinya. Jika sudah mendapatkan ridho dari sang guru, maka keberkahan dari ilmu otomatis akan turun. Dulu ketika jaman, bapak masih mondok. Ucapan itu yang saya ingat dari Kyai dan selalu saya pegang sampai hari ini. Jadi perlu diingat bahwa ini bukan sekedar omong kosong belaka. Ketika seorang guru telah ridho kepada santrinya, maka pintu mengalirnya keberkahan dari ilmu akan terbuka sangat lebar. Walaupun dikatakan jika seorang itu memiliki ilmu yang sedikit. Namun apabila gurunya ridho terhadapnya, niscaya yang secuil itu akan sangat bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Dulu, ketika Mbah Hasyim Asy'ari menjadi santri Syaikhona Kholil Bangkalan. Beliau mendapatkan tugas untuk mengurusi kuda-kuda milik Mbah Kholil. Sehingga beliau (Mbah Hasyim) hanya memiliki sedikit waktu untuk belajar mengaji layaknya santri lain, sebab sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengurusi kuda Mbah Kholil. Kemudian suatu saat Mbah Kholil kedatangan seorang Kyai asal Jawa yang telah memiliki banyak santri. Kyai tersebut berniat meminta Mbah Kholil untuk mencarikan seorang menantu, sebab dirinya belum memiliki penerus untuk mengurus pesantrennya.
Setelah mendengar niat kedatangan kyai tersebut. Tanpa berpikir panjang Mbah Kholil langsung memanggil Mbah Hasyim yang saat itu tengah sibuk mengurusi kuda di belakang rumah. Mendengar sang guru memanggilnya, Mbah Hasyim bergegas menghampiri sang guru dengan tergesa-gesa.Kyai tersebut tercengang mendengar perkataan Mbah Kholil, seorang santri dengan pakaian lusuh dan tak karuan (Mbah Hasyim) yang ada dihadapannya memiliki ilmu yang cukup untuk mengurusi pesantren miliknya.
Di sisi lain Mbah Hasyim pun merasa bingung dengan sang guru, sebab Mbah Hasyim yang belum memiliki (ilmu) apa-apa harus dijadikan sebagai menantu dari seorang ulama besar yang begitu mulia. Mbah Hasyim tentu merasa belum layak untuk dijadikan sebagai menantunya. Apalagi beliau juga diberikan amanah untuk meneruskan pondok pesantren. Setelah itu Mbah Kholil mengatakan satu hal yang membuat Mbah Hasyim dan tamunya terkejut, “Sudahlah, kamu (tamu) pulang dan siapkan saja selamatnnya, tiga hari lagi aqadnya dilaksanakan. Dan kamu Hasyim, kembali ke belakang dan urusi kuda-kudanya.”
Mendengar kata-kata tersebut pergilah keduanya sebagaimana perintah Mbah Kholil. Ketika pikiran dan perasaan campur aduk, pada saat itulah Allah memberikan hidayah-Nya kepada Mbah Hasyim. Beliau teringat akan pesan Mbah Kholil yang disampaikan kepada dirinya yakni membaca sholawat nariyah sebanyak-banyaknya dan pada waktu sangat dianjurkan, separuh malam hingga menjelang subuh". Malam harinya, Mbah Hasyim kemudian langsung melaksanakan pesan dari Mbah Kholil untuk membaca Shalawat Nariyah sebanyak-banyaknya. Saat menjelang Subuh, Mbah Hasyim tidak sengaja ketiduran hingga bermimpi.
Dalam mimpinya, Mbah Hasyim bertemu dengan Imam Bukhari dan mengajarkan kepada Mbah Hasyim hadits-hadits shahih. Mbah Hasyim berguru pada Imam Bukhari selama 40 tahun, namun anehnya ini adalah mimpi dan beliau terbangun ketika adzan Subuh berkumandang. Mbah Hasyim merasa heran dan tidak percaya dengan mimpi yang dialaminya. Kesokan harinya, kemudian sang mertua mencoba untuk menguji Mbah Hasyim untuk membuktikan dawuh Mbah Kholil yang mengatakan jika menantunya telah mengaji selama 120 tahun.
Seketika Mbah Hasyim yang masih berada di masjid dipanggil, dan beliau terkejut ketika di hadapannya telah disediakan dua kitab tafsir dan hadits. Saat itulah Mbah Hasyim menunjukkan karomahnya, tanpa harus menyentuh dua kitab tersebut, Mbah Hasyim langsung membaca dan menafsirkan dua kitab itu tanpa ada satu kesalahan sedikitpun. Semua yang menyaksikan Mbah Hasyim dibuat heran. Bagaimana tidak, sebab ketika Mbah Hasyim menjelaskan, beliau layaknya seorang ahli ilmu yang telah berkali-kali mengkhatamkan kitab tersebut".
Itulah hikmah dari Sami’na Wa Atho’na yang secara tersirat digambarkan melalui kisah K.H Hasyim Asy'ari yang dinikahkan dengan Mbah Kholil Bangkalan dengan putri seorang ulama besar. Sebagai santri khususnya dan orang beriman umumnya. Sudah sepatutnya kita menghargai dan menghormati guru dan ulama. Sebab sedikit ilmu yang mereka berikan manfaatnya dan ridhonya begitu hebat. Perlu sekali digaris bawahi bahwa keberkahan atau kebermanfaatan suatu ilmu, bukan pada seberapa banyak ilmu yang kita miliki. Tetapi seberapa ridho guru terhadap santrinya. Jikalau ridho seorang guru telah turun, maka keberkahan ilmu akan kita dapatkan.
Komentar
Posting Komentar