Mungkin kamu sudah mengetahui arah tulisan ini ketika membaca judul di atas. Betul, ini adalah kisa perjalanan saya pulang ke Indramayu. Sudah satu semester berada di daerah orang lain, rasanya hati begitu berat jika tidak pulang ke rumah ketika libur kuliah tiba. Kereta api merupakan moda transportasi yang banyak diminati khususnya bagi mereka yang akan menempuh perjalanan jauh. Selain mudah diakses, kereta api juga menjadi transportasi umum yang aman dan nyaman di jaman sekarang ini.
Pada perjalanan kali agak sedikit berbeda. Saya pulang dari tulungagung lewat kota Surabaya dengan ditemani tas dan barang bawaan berisi oleh-oleh khas Tulungagung alias pulang sendirian. Perjalan ini adalah pertama kali saya memberikan diri untuk pulang sendiri melalui rute Sumbergempol (TA) - Surabaya Gubeng, Surabaya Gubeng - Pasar Turi, dan berakhir di Pasar Turi - Haurgeulis (Indramayu). Jika biasanya saya pulang langsung dari Tulungagung menuju Indramayu hanya memakan waktu sebelas jam. Sekarang karena melewati Pasar Turi dan transit di sana, waktu tempuh perjalanan saya bertambah menjadi tujuhbelas jam. Memang bukan perjalanan yang singkat.
Perjalanan sesungguhnya dimulai ketika saya sampai di Pasar Turi. Dari stasiun Surabaya Pasar Turi saya akan langsung menuju stasiun Haurgeulis dengan menaiki kereta Airlangga. Kerena jenis kereta ini bukan kelas premium, melainkan kelas ekonomi. Maka badan akan terasa sakit setelah menempuh perjalanan yang cukup lama. Hal ini tidak lain karena kehidupan anak kos selalu menuntut kita untuk pintar-pintar mengelola keuangan dan menggunakan dengan bijak. Maksud saya selain tarifnya lebih murah ketimbang kereta Singasari yang saya pakai ketika perjalanan Tulungagung - Indramayu, dalam perjalanan ini saya juga bisa sedikit jalan-jalan dan menguji mental.
Saya duduk di gerbong delapan, gerbong paling ujung. Tapi walaupun duduk di gerbong paling belakang, kursi pada saat itu terasa sempit akibat banyaknya penumpang. Saya duduk di kursi dimana kanan dan kiri adalah remaja SMA dan seorang bapak-bapak. Inilah merupakan sisi menantang bagi saya ketika pulang sendirian, kita secara tidak langsung dipaksa untuk bersosialisasi karena keadaan. Mulai dari pukul 13.00 sampai 21.58 WIB saya harus kuat berada di kereta berdesakan dengan penumpang lain.
Ada kejadian langka di dalam kereta ketika masuk waktu sholat. Ketika itu suasana gerbong delapan sedang ramai dan berisik. Bapak-bapak di samping saya tiba-tiba menunaikan sholat ashar di kursi tempat ia duduk. Waktu itu saya dan orang tersebut duduk di kursi yang sama, yang memiliki kapasitas tiga orang. Dengan khusyuknya ia menunaikan sholat seolah-olah ia sedang sendiri di dalam masjid tidak ada orang lain. Memang alquran sendiri tidak membahas secara detail sholat di dalam kereta, tapi di dalam alquran Surat Hud ditegaskan tentang Allah SWT memanggil manusia untuk melaksanakan sholat di semua waktu, kecuali waktu waktu yang dilarang. Menurut saya apa yang dilakukan bapak tersebut sesuai dengan perintah alquran. Karena memang dalam keadaan apapun selagi tubuh kita masih mampu melaksanakan sholat, maka lakukanlah. Tidak ada alasan untuk meninggalkannya.
Kemudian saya juga melihat bahwa kejadian itu merupakan sebuah nilai yang patut kita pedomani. Ada nilai berlomba-lomba dalam kebaikan di sana. Seperti kata alquran surat Al-Baqoroh ayat 148. Potongan ayat ini menyuruh umat islam untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Nah apa yang telah dilakukan bapak ini merupakan satu kebaikan yang luar biasa. Dimana kebanyakan orang dalam keadaan seperti yang telah dikatakan, banyak yang mengabaikan perintah sholatm. Tapi beliau ini malah berani berbeda dari yang lain. Bukan hanya soal berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi beliau juga melaksanakan dakwah bil hal (dakwah dengan tindakan). Ia berpesan kepada dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya untuk bersama-sama kita menunaikan panggilan Allah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemudian saya pun sempat berbicara dengan beliau ini bahwa dia ternyata seorang guru di sebuah Yayasan dhuafa bernama Khazanah Kebajikan, Jakarta. Beliau pergi ke Surabaya karena ada urusan keluarga. Tapi memang aslinya beliau adalah orang jakarta. Dalam kesempatan itu saya tidak sempat menanyakan namanya. Tapi kebaikan beliau tidak berhenti sampai di sana. Pada waktu adzan magrib berkumandang, beliau memberikan saya pisang dan permen jahe. Kebetulan hari itu adalah hari Kamis, pisang yang saya terima bisa untuk berbuka puasa. Selepas itu kita kemudian ngobrol seputar latarbelakang, pekerjaan, tujuan, dan daerah masing-masing.
Komentar
Posting Komentar