Beberapa waktu lalu kita terus disuguhkan oleh media dengan berita pengesahan RKUHP yang menuai kontroversi. Pengesahan RKUHP ini dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP pada Selasa, 06 Desember 2022. Pasca pengesahan tersebut menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Hal ini tidak lain karena ada sejumlah pasal yang dianggap kontroversi di dalam RKUHP tersebut. Dikutip dari laman resmi CNN Indonesia, sejumlah pasal - pasal kontroversial diantaranya adalah penghinaan presiden, makar, penghinaan lembaga negara, pidana demo tanpa pemberitahuan, berita bohong, hukuman koruptor turun, pidana kumpul kebo,menyebarkan ajaran komunis, pidana santet, dan vandalisme.
Dari beberapa pasal tersebut di atas, yang paling menarik untuk menjadi pembahasan kali adalah pasal penghinaan presiden dan lembaga - lembaga negara. Keberadaan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP banyak ditentang dari berbagai elemen masyarakat. Sebagian masyarakat mengklaim pasal tersebut menghambat kritik terhadap pemerintah dan mengancam hak untuk berpendapat karena memidanakan orang-orang yang dianggap menghina presiden. Jika kita melihat negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, hal ini tentu akan bersebrangan. Di dalam politik demokrasi, kedudukan pemerintah yang mengambil suatu kebijakan umum ditetapkan oleh kebanyakan wakil rakyat dan diawasi secara efektif oleh masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini pasal penghinaan telah membunuh sistem demokrasi Indonesia dan bertentangan dengan salah satu asas hukum equality before the law atau dapat dipahami akses hukum yang sama oleh orang yang berbeda.
Namun mari kita menghela nafas sejenak, bagaimana hukum memandang pasal penghinaan presiden yang kini banyak menimbulkan polemik.
Perlu kita ketahui bahwa di dalam RKUHP tidak ada materi muatan tentang penghinaan presiden. Penghinaan presiden sebetulnya hanya direformulasi menjadi norma penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada pasal 218, 219, dan 220 RKUHP. Namun pasal penghinaan semacam ini bukan pertama kali diundangkan. Sebelumya sudah ada penghinaan presiden yang secara eksplisit diatur di dalam pasal 134, 136 bis dan pasal 137 KUHP. Tapi pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan berdasarkan putusan MK tahun 2006 tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Namun pada hari ini telah dihadirkan kembali pasal penghinaan kepada Presiden dan kita menganggap seolah-olah baru dan dicap membatasi kritikan masyarakat. Padahal sesungguhnya mengkritik dan menghina berada pada koridor yang berbeda menurut hukum pidana. Kita bisa melihat bahwa kritik adalah hal yang sifatnya konstruktif atau membangun sedangkan menghina bersifat destruktif atau merusak. Disini perlu disampaikan secara tegas makna dan perbedaan dari kritik dan menghina.
Pasal 219 ayat 1 berbunyi "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarkan luaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar isinya dapat diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV". Dalam pasal 220 ayat 1 mengatur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 218 dan pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pasal 220 ayat 2 mengatur bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Maka artinya bahwa delik penghinaan presiden atau wakil presiden adalah delik aduan dan harus ada laporan tertulis dari presiden atau wakil presiden.
Kemudian mari kita melihat substansi dari Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2019 ini. Terdapat tiga masalah pokok dalam hukum pidana yakni, masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan yang akan diuraikan nantinya. Adanya pasal penghinaan dalam RUU KUHP Tahun 2019 masih tetap relevan karena kebebasan berpendapat adalah hak yang mutlak. Atau dengan kata lain penulis berpendapat bahwa pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang termaktub dalam pasal 218 ayat 1 RKUHP bukanlah untuk membatasi kritik masyarakat melainkan membersihkan atau menghilangkan unsur penghinaan di dalam sebuah kritik. Sehingga esensi dari kritik dapat disampaikan dengan baik.
Jika kita membandingkan pasal di atas dengan Pasal KUHP yang pernah dicabut oleh MK di tahun 2006. Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP berbunyi sebagai berikut "Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". Dalam pasal 136 bis berbunyi pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135. Jika itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina baik dengan tingkah laku di muka umum maupun tidak di muka umum, baik lisan atau tulisan namun di hadapan lebih dari empat orang atau di hadapan orang ketiga bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Alasan inkonstitusional dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP sehingga dicabut oleh MK sangat berbeda dengan peraturan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pasal 218 sampai 220. Ada hal lain yang membedakan Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP dengan pasal yang pernah dicabut oleh MK tersebut. Perbedaan ini terletak jika sebelumnya penghinaan Presiden dan Wakil Presiden termasuk dalam delik biasa, di dalam RKUHP tahun 2019 menjadi delik aduan. Secara sederhana delik aduan adalah perkara yang diadukan dalam pemrosesan perkara. Delik aduan yakni delik yang diproses apabila ada pengaduan dari korban dari tindak pidana. Siapa itu? Presiden dan Wakil Presiden atau lembaga negara. Jadi jika selama subjek hukum dalam perkara tersebut merasa terhina tapi tidak melakukan aduan, maka perkara tersebut tidak dapat diproses. Sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi, Indonesia membentuk RKUHP berdasarkan Pancasila yang dalam sila pertama mengandung nilai-nilai ketuhanan tentu melarang perbuatan menghina. Sehingga pembentukan RKUHP menggunakan landasan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 sebagai amanat konstitusi negeri ini.
Kemudian perlu juga penulis terangkan kegiatan mengkritik dan menghina menjadi sub-bab tersendiri supaya tidak menjadi sesuatu yang abstrak dalam tulisan ini. Perbuatan kritik memang tidak identik dengan menghina, tapi dalam penyampaiannya kerap kali ada upaya nalar subjektif yang disampaikan seseorang sehingga dapat mengubah perspektif dari kritik yang sifatnya konstruktif menjadi destruktif. Karena di dalamnya terkandung maksud jahat seperti ucapan, tindakan, atau tulisan yang muncul sebagai ekspresi emosional dari orang yang menyampaikan kritik. Tentu kita tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka perlu ditekankan sekali lagi bahwa esensi menghina menurut Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UII, Dr. Mudzakir, S.H, M.H. adalah menyerang kehormatan atau nama baik. Penghinaan yang masuk dalam delik aduan seperti halnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, persangkaan palsu, dan penghinaan kepada orang mati.
Fokus pada statment kebebasan berpendapat seseorang telah dibatasi. Dari dulu sampai sekarang setiap orang dalam melakukan apapun selalu dibatasi oleh hak orang lain. Sehingga penggunaan hak kebebasan yang menyampaikan pendapat tidak boleh melanggar kewajiban untuk menghormati harkat dan martabat orang lain.
Komentar
Posting Komentar