Catatan Kecil Buku Sosiologi Politik Kontemporer : Premanisme Politik dan Pemaksaan Kehendak Dalam Pilkada Langsung
Suksesnya penyelenggaraan pemilu pada tahun 2004 telah menjadi prestasi yang cukup gemilang bangsa Indonesia. Hingga setahun kemudian bangsa kita menuliskan tinta emas kembali dengan menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Di dalam sejarah pemerintahan negara Indonesia, Pilkada merupakan fase dari metamorfosa orde - orde sebelumnya. Parameter demokratisasi perlu terimplementasi pada setiap rezim yang berjalan. Terdapat perbedaan Pilkada langsung masa reformasi dengan pemilihan kepala daerah di zaman order baru. Seperti yang kita ketahui, bahwa pelaksanaan pilkada pada masa orde baru dilakukan di parlemen oleh DPRD. Pada masa itu, DPRD memiliki posisi yang kuat untuk menentukan pejabat di daerah. Bukan hanya itu DPRD juga memiliki kuasa untuk memilih, melantik, dan memberhentikan kepala daerah. Kemudian hal itu tidak berlangsung lama, setelah masuk masa reformasi bangsa kita mengambil sikap tegas dengan memerintahkan melalui amanat Undang-undang tahun 2004 untuk melaksanakan Pilkada langsung sebagai wujud menegakkan nilai-nilai demokratisasi.
Lahirnya transformasi politk yang kita lihat sekarang. Tidak ujug-ujug terjadi begitu saja, melainkan dibidani dengan pergulatan dahsyat yang kadang kerap sekali terjadi perang wacana. Ide pelaksanaan Pilkada langsung ini muncul karena ketidakpuasan dan penyimpangan yang terjadi di dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh para wakil rakyat yang terhormat di daerah. Berbagai aktivitas seperti pro demokrasi, LSM, pakar politik tanah air terus melakukan diskusi dan seminar untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui Pilkada langsung.
Singkat waktu upaya stakeholders ini akhirnya mendapatkan angin segar. Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 yang mengatur Tentang Pelaksanaan Pilkada Langsung. Walaupun telah diatur secara tegas dalam konstitusi, tapi mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung belum mencapai apa yang diharapkan. Kita mesti pernah mendengar atau melihat secara langsung pesta Pilkada tidak jarang diwarnai dengan aksi-aksi anarkis yang timbul akibat rasa tidak puas masa pendukung atau tim sukses atas calon yang didukungnya. Pernyataan tersebut tidak harus jauh-jauh kita mencari faktanya. Contoh kecil pada setiap pemilihan kepala desa hal tersebut hampir terus terjadi disetiap tahunnya. Dan seolah-olah telah membudaya yang mewarnai pesta demokrasi kita.
Tapi problema tersebut harus kita sikapi dengan kembali melihat tujuan dari pelaksanaan Pilkada langsung ini. Sebuah harapan yang teramat penting dari hasil percaturan politik Pilkada langsung adalah terciptanya pemerintah yang baik (good governance), bersih, aspiratif, dan juga berwibawa. Oleh karena itu, memang sudah menjadi hal wajib bagi kepala daerah terpilih nilai-nilai good governance harus menjadi perhatian serius ditengah masyarakat. Hal ini bisa dimulai dengan merealisasikan janji-janji yang ditebarkan saat berkampanye. Supaya pemerintah terpilih memiliki legitimasi yang kuat untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung telah menghantarkan Indonesia selangkah lebih maju dalam menjalankan roda demokrasi. Tapi di sisi lain torehan keberhasilan Pilkada langsung, masih ada sejumlah daerah yang tidak urung malah menimbulkan jejak masalah. Di dalam buku ini banyak sekali pendapat yang menjelaskan faktor-faktor penyebab konflik yang timbul baik menjelang, penyelenggaraan, dan pengumuman hasil Pilkada. Salah satu pendapat yang cukup kuat dan relevan adalah pendapat dari Sjamsuddin Haris. Beliau mengetengahkan lima sumber konflik potensial yaitu pertama, mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Potensi masalah ini kerap muncul pada wilayah-wilayah di mana ketegangan politik etnik cenderung tinggi seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kedua, telah menjadi rahasia umum adalah kampanye negatif dari pasangan calon kepala daerah. Kita pasti sering melihat calon kepala daerah adalah tokoh-tokoh yang kerap kali ditemukan di daerah. Baik dalam bentuk baliho, kaos, stiker, poster, papan reklame, angkutan umum dan lainnya. Sehingga para pendukung mengetahui persis riwayat hidup para calon. Dan memungkinkan fitnah mengenai integritas kandidat.
Ketiga, konflik yang bermuara pada premanisme dan pemaksaan kehendak. Kita pasti merasakan gejala selalu ada pada setiap pesta demokrasi. Saat masa berusaha memprotes keputusan KPUD karena calon misalnya, tidak memenuhi syarat administratif yang telah ditentukan undang-undang. Premanisme dapat kita lihat dengan sangat jelas. Apabila ketika para elite yang menjadi kandidat kepala daerah tidak mampu menerima kekalahan dengan lapang dada. Dan kemudian memprovokasi masa pendukungnya untuk meruntuhkan kepala daerah terpilih. Keempat, manipulasi dan kecenderungan perhitungan suara hasil Pilkada. Konflik jenis ini muncul ketika kepala daerahnya maju kembali sebagai kandidat untuk jabatan kedua. Menurut Haris bahwa potensi konflik juga dapat timbul jika aparat birokrasi yang memobilisasi dukungan bagi kandidat dari unsur PNS, TNI, dan Polri. Kemudian yang terakhir konflik bersumber dari perdebatan penafsiran aturan main penyelenggaraan Pilkada langsung.
Dari beberapa faktor pemicu di atas, yang menjadi sumbu utama dari problematika adalah munculnya beraneka ragam motivasi dari seorang calon yang ikut dalam ajang perebutan kursi panas pada pucuk pimpinan daerah. Mulai dari motivasi yang harum sampai motivasi yang haram. Atau bisa diperjelas lagi pada saat seorang calon berencana mengikuti Pilkada dengan tujuan akhir untuk memperoleh kemenangan. Sehingga kemudian melapangkan jalan baginya untuk dapat menduduki jabatan empuk dengan bertaburkan fasilitas. Terlebih setelah ongkos politik yang dikeluarkan seorang calon sangat banyak. Maka tidak ada kamus kalah dalam pertarungan Pilkada. Dengan demikian sehingga segala cara akan dilakukannya untuk memenangkan pertarungan walaupun cara tersebut kotor.
Sebagai catatan akhir, menyikapi berbagai kemelut dalam Pilkada, maka sudah sepatutnya kita berintrospeksi. Bahwa mungkin saja kekalahan yang terjadi bukan karena faktor eksternal. Melainkan karena faktor yang berada di lingkungan internal dari calon seperti visi dan misi yang disampaikan calon ketika berkampanye. Yang dirasa belum sejalan dengan kebutuhan daerah atau apa yang diinginkan masyarakat. Figur calon yang diusung ternyata tidak berkualitas sehingga belum layak untuk menjadi seorang pemimpin atau kurang solidnya tim sukses daripada calon untuk menjaring masa pendukung. Lalu dari apa yang telah dipaparkan di atas. Apakah dengan keputusan untuk melaksanakan Pilkada langsung sesuai dengan undang-undang nomor 32 dan PP Nomor 6 Tahun 200r telah membidani lahirnya pemimpin yang mencerminkan good governance Atau malah hanya malah sebaliknya?
Komentar
Posting Komentar