Sebagai makhluk yang sempurna manusia dibekali dengan akal untuk berpikir. Kedudukan akal inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang lainnya. Akal merupakan sebuah alat berpikir yang mampu menangkap, menganalisis, dan menerima pengetahuan sebagai pedoman. Dalam literatur lain akal juga dapat diartikan sebagai berpikir. Dari sisi filsafat saya pernah membaca sebuah buku, di dalamnya menerangkan pengetahuan yang teramat luas ini memiliki dua dimensi yang berbeda. Pertama dimensi potensial dan kedua dimensi aktual. Pengetahuan yang abadi bersemayam pada dimensi potensial. Dimana untuk menghantarkan pengetahuan tersebut dari dimensi potensial ke dimensi aktual diperlukan peran akal supaya bisa dipahami oleh orang lain.
Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui akal adalah ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan patokan untuk bisa diterapkan dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena kerja akal dapat dilakukan secara tepat menggunakan sistem dan metode
yang sesuai dengan prosedur ilmiah atau rasional. Tetapi hasil pengetahuan yang diperoleh melalui akal tersebut memiliki kelemahan dan keterbatasan. Sebab akal tidak akan selamanya benar dan terarah. Salah satu faktor yang kerap kali menganggu kerja akal adalah nafsu dan ego. Keduanya menjadi semacam parasit ketika akal tengah melakukan fungsinya.
Dari mana akal mampu memperoleh pengetahuan yang tidak terbatas itu? Akal memperoleh pengetahuan dari pengalaman-pengalaman indrawi dan mampu memastikan ke dalam dengan pendayagunaannya. Melalui potensi yang dimiliki oleh akal seseorang dapat menundukkan dan melahirkan nuansa baru dalam kehidupannya. Konsep dari akal sendiri adalah merenungkan sesuatu dari menarik pelajaran atau i'ktibar melalui kejadian-kejadian yang dilihat
atau dialami. Contoh sederhana seperti halnya tulisan ini lahir karena terinspirasi dari kisah seorang ahli bahasa dan tukang perahu yang terdapat dalam buku Masnawi karya Jalaluddin Rumi.
Dalam kisah antara ahli bahasa dan tukang perahu tersebut. Sebetulnya Jalaluddin Rumi ingin menyindir orang-orang pintar yang sombong. Kita boleh berbangga dan kepada kepintaran seseorang atau kepintaran diri kita sendiri. Tapi sepintar - pintarnya orang hanya terbatas pada pengalaman. Atau dengan kata lain orang hanya pintar pada bidangnya. Sebab seseorang pintarnya fakultatif (sesuai fakultasnya masing-masing) dan tidak ada ilmu yang universal. Maka sering saya dengar ada statment orang kuliah itu bukan di universitas tetapi di fakultas, universitas hanya mengkoordinir. Kamu yang membaca tulisan ini mungkin paham tentang ilmu astronomi karena memang dulu pasti kamu pernah membaca atau belajar fisika. Kamu pintar hukum sebab dulu kamu pernah kuliah di fakultas hukum. Maka kemudian ketika seorang lulusan hukum ditugaskan untuk menafsirkan kandungan hadist atau al-quran. Maka tidak bisa karena bukan bidangnya. Inilah contoh kecil dari apa yang dimaksud dengan pintarnya seseorang itu sifatnya fakultatif. Sebab terbatas pada pengalaman.
Komentar
Posting Komentar